SMK dan Data Pengangguran
Perlu didiskusikan lebih lanjut perolehan data statistik dari BPS yang menghasilkan bahwa pengangguran lulusan SMK lebih banyak yakni 16,94% dibanding lulusan lainnya (Surya, 8 Januari 2009). Disatu sisi temuan ini begitu mengejutkan, karena dunia pendidikan saat ini, melalui Mendiknas memiliki kebijakan untuk membalik perbandingan jumlah SMK daripada jumlah SMA yang sebelumnya SMK:SMA = 30:70 menjadi SMK:SMA = 70:30 sampai tahun 2013. Di sisi lain kenyataan data di lapangan ternyata lulusan SMK tidak lebih baik daripada lulusan SMA dalam memperoleh pekerjaan, padahal perbandingan SMK:SMA masih mencapai 50:50.
Kebijakan memperbanyak SMK ini diawali dari data BPS juga dimana beberapa tahun yang lalu lulusan SMA menyumbang pengangguran terbesar yakni 18% ditahun 1995 dan meningkat terus sampai 24% ditahun 2004. Analisis tentang banyaknya lulusan SMA yang menganggur saat itu memang dapat diterima, karena kurikulum SMA memang menyiapkan siswa untuk untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi, sehingga kurikulum SMA tidak memberi keterampilan untuk bekerja. Oleh karena itu sangat wajar bila untuk terjun ke dunia kerja lulusan SMA tidak mempunyai skill, sedangkan untuk melanjutkan kuliah ternyata mereka terhambat oleh biaya, maka tak ayal lagi mereka terpaksa menjadi pengangguran. Berbeda dengan kurikulum SMK yang sejak awal dibangun dengan mengacu pada kebutuhan tenaga kerja di dunia usaha/dunia industri. Sehingga lulusan SMK diharapkan telah terampil karena dididik di sekolah dan industri. Selain itu lulusan SMK juga dimungkinkan untuk melanjutkan kuliah
Data BPS ini berseberangan dengan pembinaan terhadap SMK yang sudah dilakukan. Kebijakan memberbanyak SMK adalah sejalan dengan permintaan industri akan tenaga kerja. Jurusan (program keahlian) di SMK selalu disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja di lapangan. Contohnya permintaan pasar yang besar akan tenaga kerja yang terampil dibidang Teknologi Informasi telah membuat SMK-SMK membuka program keahlian Teknik Jaringan Komputer dan Rekayasa Perangkat Lunak, sementara itu juga pasar otomotif yang sedang menanjak tentu saja memerlukan tenaga mekanik otomotif yang terampil, hal ini menyebabkan program keahlian mekanik otomotif menerima banyak siswa. Demikian juga dengan program keahlian kelistrikan, tata boga, akuntansi, pemasaran, desain produk kayu sampai dengan perikanan, pertanian dan lain-lain dibuka selalu dibina berdasarkan permintaan dunia usaha dan dunia industri. Dari banyaknya permintaan dilapangan sampai-sampai saat ini seperti program keahlian konstruksi bangunan belum mampu dipenuhi oleh SMK-SMK, padahal pasar dalam dan luar negeri sangat membutuhkannya.
Memang tidak dijelaskan lebih jauh data BPS diambil dengan metode apa. Apabila data tersebut diambil dari depnaker, memang kelihatan bahwa lulusan SMK penyumbang pengangguran terbesar. Depnaker menghitung data pencari kerja dari keluarnya kartu kuning yang ada, sedangkan kartu kuning akan lebih banyak diminta lulusan SMK karena selain kuantitas lulusan SMK yang lebih banyak untuk saat ini prioritas mereka juga untuk mencari kerja. Sedangkan lulusan SMA yang diproyeksikan untuk kuliah akan lebih sedikit meminta kartu kuning.
Lebih jauh lagi, apabila data BPS diambil dari semua siswa yang baru lulus dibulan-bulan awal, maka lulusan SMK akan mendapatkan angka tertinggi, karena untuk saat ini jumlah mereka memang sengaja ditingkatkan. Berbeda dengan pengangguran lulusan SD yang menurut BPS prosentasenya kecil, hal ini disebabkan dengan adanya pendidikan dasar 9 tahun kuantitas lulusan SD sudah ditekan sedemikian rupa menjadi semakin kecil. Dengan kata lain apabila pada tahun yang sama SMK meluluskan 10 orang dan SD meluluskan 1 orang, maka pada bulan itu prosentase pengangguran SMK 10 kali lipat prosentase pengangguran SD. Berbeda apabila BPS mengambil data langsung dari Sekolah-sekolah yang mempunyai data akurat tentang penyebaran alumni mereka, dipastikan data dari SMK-SMK akan menunjukkan siswa mereka lebih banyak diterima bekerja daripada menganggur. Namun hal ini tidak akan dilakukan BPS, karena jumlah Sekolah yang ribuan membuat pengambilan data terlalu repot.
Kesalahan data BPS bisa saja diminimalisir apabila data yang diambil bukan banyaknya jumlah pengangguran, tetapi banyaknya jumlah tenaga kerja yang sudah diserap di dunia usaha/dunia industri berdasar latar belakang pendidikannya. Pengambilan data bisa dilakukan dengan mengunjungi seluruh dunia usaha dan dunia industri yang ada, lalu didata berapa jumlah karyawan mereka dari lulusan SMK, SMA, PT, SMP dan SD. Hipotesa awal diyakini yang akan muncul jumlah lulusan SMK yang paling banyak diserap karena keterampilan mereka memang sejalan dengan kebutuhan industri. Memang masih berupa hipotesa, namun paling tidak sudah lebih teliti daripada hanya mengambil data global sebelum diuji kebenarannya.
Sejalan dengan Direktur Pembina SMK Dr. Joko Sutrisno dan banyak orang yang berkecimpung di dunia SMK, data BPS memang cukup mengejutkan. Namun tetap harus ditelaah lebih lanjut keakuratannya. Sebab keakuratan data memang sangat diperlukan dalam mengevaluasi kinerja SMK untuk lebih baik lagi dimasa mendatang.
Kebijakan memperbanyak SMK ini diawali dari data BPS juga dimana beberapa tahun yang lalu lulusan SMA menyumbang pengangguran terbesar yakni 18% ditahun 1995 dan meningkat terus sampai 24% ditahun 2004. Analisis tentang banyaknya lulusan SMA yang menganggur saat itu memang dapat diterima, karena kurikulum SMA memang menyiapkan siswa untuk untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi, sehingga kurikulum SMA tidak memberi keterampilan untuk bekerja. Oleh karena itu sangat wajar bila untuk terjun ke dunia kerja lulusan SMA tidak mempunyai skill, sedangkan untuk melanjutkan kuliah ternyata mereka terhambat oleh biaya, maka tak ayal lagi mereka terpaksa menjadi pengangguran. Berbeda dengan kurikulum SMK yang sejak awal dibangun dengan mengacu pada kebutuhan tenaga kerja di dunia usaha/dunia industri. Sehingga lulusan SMK diharapkan telah terampil karena dididik di sekolah dan industri. Selain itu lulusan SMK juga dimungkinkan untuk melanjutkan kuliah
Data BPS ini berseberangan dengan pembinaan terhadap SMK yang sudah dilakukan. Kebijakan memberbanyak SMK adalah sejalan dengan permintaan industri akan tenaga kerja. Jurusan (program keahlian) di SMK selalu disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja di lapangan. Contohnya permintaan pasar yang besar akan tenaga kerja yang terampil dibidang Teknologi Informasi telah membuat SMK-SMK membuka program keahlian Teknik Jaringan Komputer dan Rekayasa Perangkat Lunak, sementara itu juga pasar otomotif yang sedang menanjak tentu saja memerlukan tenaga mekanik otomotif yang terampil, hal ini menyebabkan program keahlian mekanik otomotif menerima banyak siswa. Demikian juga dengan program keahlian kelistrikan, tata boga, akuntansi, pemasaran, desain produk kayu sampai dengan perikanan, pertanian dan lain-lain dibuka selalu dibina berdasarkan permintaan dunia usaha dan dunia industri. Dari banyaknya permintaan dilapangan sampai-sampai saat ini seperti program keahlian konstruksi bangunan belum mampu dipenuhi oleh SMK-SMK, padahal pasar dalam dan luar negeri sangat membutuhkannya.
Memang tidak dijelaskan lebih jauh data BPS diambil dengan metode apa. Apabila data tersebut diambil dari depnaker, memang kelihatan bahwa lulusan SMK penyumbang pengangguran terbesar. Depnaker menghitung data pencari kerja dari keluarnya kartu kuning yang ada, sedangkan kartu kuning akan lebih banyak diminta lulusan SMK karena selain kuantitas lulusan SMK yang lebih banyak untuk saat ini prioritas mereka juga untuk mencari kerja. Sedangkan lulusan SMA yang diproyeksikan untuk kuliah akan lebih sedikit meminta kartu kuning.
Lebih jauh lagi, apabila data BPS diambil dari semua siswa yang baru lulus dibulan-bulan awal, maka lulusan SMK akan mendapatkan angka tertinggi, karena untuk saat ini jumlah mereka memang sengaja ditingkatkan. Berbeda dengan pengangguran lulusan SD yang menurut BPS prosentasenya kecil, hal ini disebabkan dengan adanya pendidikan dasar 9 tahun kuantitas lulusan SD sudah ditekan sedemikian rupa menjadi semakin kecil. Dengan kata lain apabila pada tahun yang sama SMK meluluskan 10 orang dan SD meluluskan 1 orang, maka pada bulan itu prosentase pengangguran SMK 10 kali lipat prosentase pengangguran SD. Berbeda apabila BPS mengambil data langsung dari Sekolah-sekolah yang mempunyai data akurat tentang penyebaran alumni mereka, dipastikan data dari SMK-SMK akan menunjukkan siswa mereka lebih banyak diterima bekerja daripada menganggur. Namun hal ini tidak akan dilakukan BPS, karena jumlah Sekolah yang ribuan membuat pengambilan data terlalu repot.
Kesalahan data BPS bisa saja diminimalisir apabila data yang diambil bukan banyaknya jumlah pengangguran, tetapi banyaknya jumlah tenaga kerja yang sudah diserap di dunia usaha/dunia industri berdasar latar belakang pendidikannya. Pengambilan data bisa dilakukan dengan mengunjungi seluruh dunia usaha dan dunia industri yang ada, lalu didata berapa jumlah karyawan mereka dari lulusan SMK, SMA, PT, SMP dan SD. Hipotesa awal diyakini yang akan muncul jumlah lulusan SMK yang paling banyak diserap karena keterampilan mereka memang sejalan dengan kebutuhan industri. Memang masih berupa hipotesa, namun paling tidak sudah lebih teliti daripada hanya mengambil data global sebelum diuji kebenarannya.
Sejalan dengan Direktur Pembina SMK Dr. Joko Sutrisno dan banyak orang yang berkecimpung di dunia SMK, data BPS memang cukup mengejutkan. Namun tetap harus ditelaah lebih lanjut keakuratannya. Sebab keakuratan data memang sangat diperlukan dalam mengevaluasi kinerja SMK untuk lebih baik lagi dimasa mendatang.
Comments