Perlukah Kekerasan dalam Mendidik?

Kekerasan tidak akan terjadi bila guru bisa begitu mendalami karakteristik siswa. Guru bisa mengembangkan kemampuan siswa dengan metode dan pendekatan yang tepat. Pendekatan konstruktivistik menjadi jawaban dari psikologi behavioristik yang biasa diterapkan dalam mendidik.

Siswa mempunyai karakteristik individual yang berbeda antara satu dan lainnya. Apabila seorang guru mampu menangani masalah siswa dengan metode A, maka belum tentu metode A tersebut efektif menangani siswa lain dengan masalah yang berbeda. Kadang guru menggeneralisir bahwa metode yang sama masih cukup efektif untuk diterapkan dalam mendidik semua karakter siswa. Hal ini memang tidak sepenuhnya disalahkan karena model pembelajaran klasikal dimana guru harus menangani satu kelas besar berjumlah lebih dari 36 siswa memang cukup kerepotan, tetapi bukan berarti jalan kekerasan menjadi metode pamungkas agar siswa memperhatikan apa yang dijelaskan guru.
Profesionalitas guru merupakan paduan antara kemampuan personal, keilmuan, teknologi, sosial dan spiritual yang secara kaffah membentuk kompetensi standar profesi guru yang mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta didik, pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalisme (Mulyasa, 2007). Oleh karena itu guru sebenarnya mempunyai peran yang cukup sentral, dalam artian guru sebenarnya tidak hanya sekedar pengajar yang hanya bisa mentransfer ilmu yang dimilikinya, tetapi guru juga berperan sebagai sutradara, konsultan, pelatih, manajer, motivator dan teman yang mumpuni. Tugas guru yang sedemikian kompleks ini tidak akan terwujud maksimal apabila guru enggan menginovasi pengetahuan yang dimiliki. Sehingga metode pendekatan terhadap siswa-siswa sejak zaman penjajahan feodal tetap dipakai hingga sekarang.
Kenakalan siswa juga bukan sepenuhnya kesalahan guru. Pendidikan yang dilakukan guru disekolah hanya berkisar 6-7 jam dari 24 jam waktu yang dimiliki siswa. Selebihnya (16-17 jam) siswa berada dalam wilayah pendidikan orang tua dan lingkungannya. Apabila orang tua tidak sempat memberikan pendidikan karena kesibukan, maka yang akan mendidik siswa adalah sinetron, video game, film, teman dll. Pendidikan yang terakhir inilah yang lebih tertanam dalam benak siswa daripada pendidikan yang dilakukan guru. Sehingga mudah saja menghapus memori yang diterima selama 6-7 jam dan menggantikan dengan pendidikan baru selama 16-17 jam.
Kekerasan bisa jadi sangat dipengaruhi oleh teori pendidikan terdahulu yang tergabung dalam teori Behavioristik. Belajar menurut psikologi behavioristik adalah suatu kontrol instrumen yang berasal dari lingkungan. Belajar tidaknya seseorang bergantung kepada faktor-faktor kondisional yang diberikan oleh lingkungan. Lingkungan yang mengkondisikan pada kekerasan akan sangat efektif membuat siswa belajar walau dalam keadaan terpaksa. Teori-teori behavioristik sangat berhasil ketika diterapkan pada hewan. Seperti Pavlov (1927) mengadakan percobaan pada anjing. Anjing tersebut diberi makanan dan diberi Bel. Pada saat diberi makan keluarlah respons anjing tersebut berupa air liur. Demikian juga jika dalam pemberian makanan tersebut disertai dengan bel. Air liur tersebut juga keluar. Pada saat bel dibunyikan tanpa makanan, anjing tersebut juga mengeluarkan air liur. Makanan yang diberikan tersebut oleh Pavlov disebut sebagai perangsang tak bersyarat (stimulus), sementara bel yang menyertai disebut sebagai perangsang bersyarat, sedangkan air liur adalah balikan (respon).
Teori Pavlov ini banyak diadopsi dalam dunia pendidikan terdahulu dengan cara mengkondisikan lingkungan pendidikan seperti guru-guru dibuat dengan kesan killer sebagai stimulus dengan harapan respon anak didik menjadi penurut dan mudah diatur sebagai modal dalam belajar.
Dengan pendekataan behavioristik anak memang terkesan menjadi pelajar yang baik. Namun banyak sekali kegiatan belajar yang kehilangan makna, karena sebenarnya mereka tidak begitu tahu apa yang mereka lakukan, yang mereka tahu bagaimana bersikap baik untuk saat itu agar memiliki nilai yang baik. Hal ini yang mengakibatkan pendidikan salah arah, yaitu hanya menghasilkan siswa pandai bernilai tinggi tanpa punya hati.
Kritik terhadap behaviorisme telah melahirkan teori konstruktivisme yaitu pengetahuan adalah suatu hal yang alami yang mengajarkan kita bagaimana harus tahu, dan hal-hal penting apa yang harus kita pertimbangkan sebagai bentukan (konstruktif) pemikiran kita. Von Glasersfeld (1987) menggambarkan konstruktivisme adalah teori pengetahuan yang berakar pada filosofi, psikologi dan sibernetika (ilmu tentang komunikasi, kontrol sistem dalam kehidupan). Dalam perspektif konstruktivisme pengetahuan dibentuk oleh individu yang berinteraksi dengan lingkungannya.
Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan adalah non obyektif bersifat temporer, selalu berubah-ubah tidak menentu. Belajar adalah menyusun pengetahuan dari pengalaman kongkrit, aktifitas kolaborasi, dan refleksi serta interpretasi. Sedangkan guru mengajar dengan menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali dan menghargai perbedaan dan fakta yang ada. Siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalaman dan perspektif yang dipakai dalam mengintrospeksikannya.
Mendidik siswa dengan kekerasan sebaiknya diganti mendidik dengan kesadaran. Kesadaran ini bisa dibentuk apabila lingkungan di sekolah memang cukup kondusif dan memiliki komitmen dalam menerapkannya. Anak diajak berpikir bahwa ketika saya membolos maka akan ada sanksi bukan berupa hukuman fisik tetapi penambahan poin pelanggaran. Apabila jumlah poin pelanggaran sudah sudah memenuhi angka tertentu, maka akan diberikan sanksi mulai merawat lingkungan taman sekolah sampai bila perlu diberi sanksi berupa pemberian tugas dirumah dan terakhir sampai pengeluaran siswa dari sekolah. Tindakan ini cenderung konstruktif dan mendidik anak cinta lingkungan dan lebih menghargai aturan yang sudah disepakati bersama ketika anak bersedia masuk sekolah tersebut. Sehingga guru tidak perlu menjewer ataupun sampai menempeleng dan tindak kekerasan lainnya, cukup diberi pengertian dan menambah poin hukuman. Hal ini juga akan menambah reputasi sekolah bahwa untuk bersekolah di sekolah tersebut harus selalu memperbaiki sikap, menambah pengetahuan terus-menerus dan meningkatkan keterampilan hidup. Para guru dan kepala sekolah juga perlu belajar terus menerus menata lingkungan yang kondusif yang sekiranya dengan melihat tatanan lingkungan sekolah siswa sudah bisa membaca, paham dan bersikap seperti apa tanpa harus diberitahu apalagi dipaksa dengan kekerasan.

Comments

Komentar saya selaku rekan anda kekerasan dalam pendidikan itu perlu ada di dalam tanda petik " " ada batasannya. Seperti Bicara keras (Tegas), Memukul tapi tidak terasa sakit dan akibat terluka (Cuman gak ada yang bisa). Dan mungkin kekerasan lain seperti Semi Militer. Dengan Prosentase perlu (gak harus 100%, mungkin 10 - 50 % ). Dengan maksud treatment mental suatu saat mereka akan ketemu populasi atau lingkungan yang seperti itu. Semoga bisa disetujui (Novia Riza S.Pd)
Tapi kebahagiaan semua makhluk itu tidak mutlak secara nyata harus ada yang dikorbankan. (seperti membunuh nyamuk karena berbahaya)

Popular posts from this blog

Kundalini: Energi Nuklir dalam Tubuh Manusia

Ki Hajar Dewantara VS HADITS NABI

Innocence of Muslims