Ki Hajar Dewantara VS HADITS NABI

        

Ki Hajar Dewantara (KHD) dalam artikel yang ditulis beliau tentang Dasar-Dasar Pendidikan Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937 menyatakan adanya teori convergentie dimana beliau mengungkapkan bahwa anak bukanlah tabula rasa atau kertas putih kosong yang siap ditulis semaunya oleh orang tua dan lingkungannya, tetapi anak adalah kertas yang sudah ada tulisannya walaupun buram, sehingga pendidik seperti guru, orang tua dan masyarakat berusaha untuk menebalkan tulisan-tulisan yang sudah ada tersebut. Berbeda dengan Hadits Nabi yang menyatakan bahwa anak adalah kertas putih yang siap ditulis oleh orangtuanya.

Kedua penyataan ini seolah-olah bertentangan, padahal sama sekali tidak, karena konteks dasar dari keduanya memang berbeda. Untuk menjelaskan permasalahan ini terlebih dahulu dijelaskan tentang teori pikiran. Dalam ilmu psikologi dijelaskan bahwa manusia memiliki 3 pikiran, yakni pikiran sadar (conscious mind), pikiran bawah sadar (subconsious mind) dan pikiran tidak sadar (unconsious mind). Pikiran sadar adalah pikiran manusia yang selalu berfikir logis, masuk akal, sistematis dan prosedural,  contohnya seperti mau makan pasti ada prosedur logis mengambil piring dan sendok, mengambil nasi, lauk dst, atau kalau seseorang ilmuwan ingin meneliti sesuatu hal pasti ada prosedur analiss data dst. Sedangkan pikiran bawah sadar ini cenderung kebalikannya yakni, tidak logis tidak prosedural tidak masuk akal, contoh yang jelas pada emosi/perasaan manusia seperti takut, marah, benci, suka, cinta dll. Orang takut pada sesuatu yang belum terbukti kebenarannya, atau tetap mencintai seseorang yang sudah berlaku kasar kepadanya.

Sedangkan pikiran tidak sadar (unconsious mind) adalah fikiran yang tidak bisa kita kontrol keberadaannya, seperti jantung berdetak berapa kali, lambung mencerna makanan kapan dst. Karena langsung dihandle yang Maha Kuasa melalui program dalam DNA kita. Nah pernyataan KHD tentang tulisan buram yang sudah disematkan pada diri manusia cenderung pada konteks unconsious mind yakni pikiran tidak sadar yang menjadi ranah Tuhan dalam memprogramnya, sehingga pendidik hanya perlu memoles dan menebalkan program Tuhan yang sudah tertera pada anak kita. Sedangkan hadits Nabi bekerja pada konteks subconcious mind atau pikiran bawah sadar manusia yang memang cenderung masih bisa diutak-atik dan diprogram sesuai dengan harapan manusia.

Nah apabila ada pertanyaan sebatas apa sebuah pernyataan dimasukkan dalam fikiran bawah sadar maupun fikiran tidak sadar adalah dengan melihat sejauh mana sesuatu itu dapat diubah manusia ataukah dalam ranah Tuhan. Yang menjadi paradoks dalam hal ini KHD cenderung melihat cetak biru anak sesuai dengan program DNA yang diberikan Tuhan namun Nabi Muhammad memandang Tingkah laku anak yang masih dalam ranah manusia dalam mengarahkannya, karena hadits tersebut muncul karena Nabi mencegah sebuah peperangan untuk membunuh anak-anak yang dianggap akan menjadi jahat seperti orang tuanya karena setiap anak bisa jadi tidak seperti orang tuanya yang ingkar dan jahat.

Dari uraian ini menjadi jelas bahwa pernyataan KHD dan Hadits Nabi tidaklah perlu dipertentangkan lagi, karena masing-masing pernyataan memang benar menurut konteksnya masing-masing.

Comments

Bagus sekali Pak Wigonggo sangat mencerahkan, dengan demikian KHD dan HAdist NAbi bisa berjalan seiring.
Wigonggo said…
Terimakasih Mr Novia Riza

Popular posts from this blog

Kundalini: Energi Nuklir dalam Tubuh Manusia

Innocence of Muslims